Pemuas Istri Boss - Hansen, seorang pria berusia pertengahan dua puluhan, baru saja kembali ke tanah air setelah menyelesaikan studinya di luar negeri. Ia diterima di sebuah perusahaan investasi di ibu kota, di mana ia bekerja di bawah pimpinan Pak Randi, seorang manajer proyek yang berusia awal tiga puluhan.
Awalnya, Hansen mengira Pak Randi adalah seorang gay karena gayanya yang lembut dan anggun. Namun, Pak Randi ternyata sudah menikah dan memiliki istri yang cantik dan anggun bernama Amel. Suatu hari, Pak Randi mengajak Hansen makan malam di rumahnya, dan di sana, Hansen bertemu dengan Amel.
Amel, yang ternyata perokok berat, mengajak Hansen menonton film di ruang keluarga. Selama menonton, Amel terus menggoda Hansen, membuat Hansen merasa gelisah dan tertekan. Amel kemudian mencium Hansen, dan mereka berciuman dengan penuh nafsu.
Setelah menonton film, Amel mengajak Hansen ke kamar tidur utama. Di sana, Amel memberikan Hansen set lingerie hitam, dan memintanya untuk memakainya. Hansen, yang awalnya gugup, akhirnya setuju dan mengenakan lingerie tersebut.
Amel kemudian meraba tubuh Hansen dengan lembut, meremas payudaranya dan menjilati putingnya. Hansen merasakan gelombang kenikmatan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Ia merasakan batangnya semakin tegang dan keras, menuntut perhatian.
Amel kemudian mengajak Hansen ke tempat tidur, dan mereka mulai berhubungan intim. Amel merasakan batang Hansen yang besar dan keras, dan memintanya untuk memasukkan batangnya ke dalam dirinya. Hansen pun melakukan hal tersebut, dan mereka berdua merasakan kenikmatan yang luar biasa.
Namun, hubungan terlarang antara Hansen dan Amel tidak berhenti di situ. Pak Randi, yang ternyata tahu tentang hubungan mereka, justru memberikan lampu hijau kepada Hansen untuk menyentuh istrinya. Hansen, yang awalnya ragu, akhirnya setuju dan menjadi pemuas nafsu Amel.
Apakah Hansen akan terus menjadi pemuas nafsu Amel? Bagaimana hubungan terlarang mereka akan berakhir? Temukan jawabannya dalam kisah “Pemuas Nafsu Istri Bosku”.
Apa yang ingin kuceritakan ini adalah kisah nyata yang pernah kualami beberapa waktu silam. Demi menjaga nama baik pihak-pihak yang terkait, terpaksa kubah semua nama dan tempat.
Namaku Johansen, biasa dipanggil Hansen atau Jo saja. Usiaku saat itu sekitar pertengahan dua puluhan. Setelah menyelesaikan studi di sebuah universitas di luar negri, aku kembali ke tanah air untuk mencari pekerjaan.
Singkat cerita, aku diterima di sebuah perusahaan investasi di ibu kota. Di sana, aku bekerja dalam satu tim yang dipimpin oleh seorang manajer proyek, Pak Randi. Beliau pria yang berusia awal tiga puluhan. Awalnya, aku mengira Pak Randi adalah seorang gay, karena gayanya yang begitu lembut dan anggun, bak seorang putri.
Tak ada aura maskulin yang terpancar darinya. Cara berjalan, bicara, dan segala gesturnya terasa begitu feminin. Sepanjang aku bekerja di bawah bimbingannya, tak sekalipun ia mencoba menggoda atau melancarkan rayuan, dan lama kelamaan aku merasa nyaman. Berbeda dengan rasa was-was yang melanda saat pertama kali aku bekerja di sana.
Aku, jujur saja, bisa dibilang pria yang rupawan, hihihi. Jadi, pada suatu Jumat, seperti biasa, sebagai anak muda lajang, setelah pulang kerja, aku mampir ke kafe di bawah gedung kantorku. Pulang lebih awal pun percuma, toh tidak ada istri yang menungguku di rumah.
Saat asyik bermain ponsel, tiba-tiba aku disapa oleh Pak Randi.
“Jo, sendirian saja?”
“Iya, Pak,” jawabku singkat.
“Bolehkah aku bergabung, Jo?” tanya Pak Randi dengan nada lembut.
“Tentu saja, Pak. Silakan,” kataku. Hatiku berdebar tak karuan, tiba-tiba bosku mengajak ngopi bareng.
“Terima kasih, Jo. Kenapa kamu selalu sendirian, Jo? Mana teman-teman yang lain?”
“Ah, Pak, saya kan sendirian. Siapa sih yang mau nongkrong sama saya? Saya kan orang baru, belum punya teman dekat, hihihi,” jawabku sambil memaksakan senyum.
“Kamu belum punya pacar, Jo?”
Ah, sudah mulai menyinggung hal yang pribadi, batinku.
“Belum ada yang serius, Pak. Masih sebatas teman-teman biasa saja, hihihi,” jawabku sembari menyesap rokok Dunhill merahku.
“Mau, Pak? Rokok saya,” tawarku sambil menyodorkan bungkusan rokokku.
“Oh, Jo, aku tidak merokok merek itu. Aku merokok Salem,” kata Pak Randi sembari mengeluarkan rokok dari saku kemeja bermerek mahalnya.
Pergh, Salem! Benar-benar gayanya, batinku saat itu, hihihi.
Aku mengamati Pak Randi menghisap rokok dengan gestur yang lembut dan anggun itu.
“Pak, tidak pulang?” tanyaku.
“Sebentar lagi, Jo. Tadi melihat kamu sendirian, jadi aku ingin menemanimu,” jawab Pak Randi dengan nada halus.
“Rumah Pak di mana, Pak?” tanyaku penasaran.
“Rumahku di Sumbang Jaya, Jo.”
“Oh, jauh juga ya,” kataku.
“Sudah biasa bolak-balik, Jo, jadi sudah tidak terasa jauh lagi,” jawabnya santai.
“Ohhh, oke, Pak. Pak sudah menikah, Pak?”
“Oh, tentu saja, aku sudah menikah,” jawab Pak Randi.
Ternyata si gay juga punya istri, pikirku. Ya, siapa sih yang tidak mau dengan pria berpangkat, gaji besar, dan mobil Jerman? Tentu banyak wanita yang antri, kan?
“Wah, Bos sudah menikah? Saya kira…” Hansen berucap, takjub mendengar kabar bahwa Pak Randi, atasannya yang berpenampilan lembut dan selalu tampak ramah, ternyata sudah membina rumah tangga.
“Kamu pikir saya ini banci ya Jo? Jo, walaupun saya begini, tapi saya tidak suka dengan lelaki. Saya ini lelaki normal yang terlahir lembut saja Jo, hihihi,” Pak Randi menyela, nada bicaranya terdengar ringan, namun ada sedikit nada yang menyindir.
Hansen langsung merasa bersalah, wajahnya memerah. “Oh, maafkan saya Bos. Saya sangka begitulah. Maafkan saya ya Bos.”
“Ah, tidak apa-apa Jo. Banyak yang berpikiran seperti itu,” balas Pak Randi dengan senyum tipis yang menampakan lesung pipitnya, membuat Hansen salah tingkah.
“Sudah lama ya, Bos menikah, Bos?” Hansen melanjutkan obrolan, berusaha mencairkan suasana.
“Sudah lima tahun masuk tahun ini,” jawab Pak Randi, sembari mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusannya dan menyalakannya dengan korek api yang ia ambil dari saku celananya.
“Oh, lama juga ya. Pasti istri Bos cantik sekali, kan?” Hansen berusaha memancing obrolan, tatapannya tak lepas dari wajah Pak Randi yang tampak sedikit sembap karena asap rokok.
“Mestilah cantik, kalau tidak cantik tidak sudi aku menikahinya Jo, hihihi!” Pak Randi tertawa kecil, suaranya terdengar sedikit serak. Nafasnya yang berhembus keluar bersamakan asap rokoknya membuat Hansen terkesima. Ada aura misterius yang terpancar dari bosnya itu, yang membuatnya semakin penasaran.
“Sudah punya berapa anak Bos?” tanya Hansen lagi, rasa penasarannya tak kunjung padam.
Pak Randi terdiam sejenak, tatapannya mengarah ke suatu titik di kejauhan, entah apa yang dipikirkannya. Asap rokoknya mengepul, seolah mewakili kerumitan pikiran yang ada di benaknya.
“Aku belum ada rezeki lagi untuk memiliki anak, Jo,” jawab Pak Randi, suaranya terdengar berat.
“Kamu ada waktu Malam Ini, Jo?”
Hansen tersentak. Suara Pak Randi, bosnya yang terkenal dengan sikapnya yang agak ‘tua’ dan sedikit kampungan, membuyarkan lamunannya.
“Ehmm ada, Bos. Soalnya nggak ada rencana apa-apa malam ini. Kenapa, Bos?” jawab Hansen, hati sedikit was-was.
“Ah, bagus. Kalau gitu, aku mau ngajak kamu makan malam di rumahku malam ini,” lanjut Pak Randi dengan nada penuh semangat, sorot matanya sedikit berbinar.
Hansen mengerutkan kening. “Eh, nggak ganggu istri Bos nanti?”
“Ah, nggak apa-apa. Istriku itu pengertian banget. Nanti aku kenalin kamu sama dia, Jo,” sahut Pak Randi dengan senyum lebar, matanya berkedip nakal.
“Alah, aku malu, Bos,” jawab Hansen, sedikit gugup.
“Alah, Jo, ayolah. Besok kan weekend. Ayo dong,” bujuk Pak Randi, nada suaranya sedikit berdesir.
Haih, apa gerangan agenda Bosnya ini malam ini? Batin Hansen mulai cemas. Jangan-jangan malam ini ia akan berakhir menjadi korban nafsu bejat bosnya yang ‘tua’ itu. “Semoga saja dia sudah berkeluarga dan nggak punya niat yang nggak-nggak,” doanya dalam hati yang mulai terasa gelisah.
“Erm, oke deh, Bos. Tapi Bos jangan macam-macam sama aku ya, Bos,” pinta Hansen sedikit bernada ancaman, nada suaranya sedikit meninggi.
“Hahahaha, ke situ lagi kamu, Jo. Santai aja. Gabung makan malam dulu, nanti kita lihat,” jawab Pak Randi dengan tawa yang terdengar sedikit mengejek, ada nada menggoda dalam tawanya.
“Baiklah, Bos,” sahut Hansen. Hanya Tuhan yang tahu perasaan gelisah yang menyergapnya saat itu.
“Kamu datang kantor naik apa, Jo?” tanya Pak Randi lagi, sambil memperhatikan Hansen dari atas sampai bawah, tatapannya sedikit intens.
“Aku naik motor aja, Bos,” jawab Hansen, sedikit menghindari tatapan Bosnya.
“Oh, kamu nggak punya mobil, Jo?”
“Belum ada rezeki buat beli lagi, Bos. Lagi pula, syarat buat beli mobil pertama belum terpenuhi. Aku kan baru kerja beberapa bulan aja, Bos. Kalau mau mengajukan pinjaman, juga belum tentu lulus,” jelas Hansen dengan sedikit nada canda, berusaha mengurangi ketegangan.
“Eh, kamu kan lulusan sarjana. Pasti bisa lulus, kok.”
“Nggak apa-apa lah, Bos. Lagi pula aku sendirian. Naik motor juga udah cukup nyaman,” jawab Hansen, berusaha menghindari obrolan tentang mobil.
“Alah, Jo, belilah mobil. Kan lebih nyaman. Eh, gini aja, kalau kamu mau, aku bisa rekomendasikan kamu. Aku kenal direktur bank. Dijamin lulus kalau aku rekomendasikan kamu, Jo. Bilang aja kamu mau mobil apa, nanti aku kabarin banker itu,” tawaran Pak Randi dibumbui dengan senyum yang menggoda, membuat Hansen semakin tidak nyaman.
“Baiklah, Bos. Nanti aku pikirkan dulu ya, Bos,” jawab Hansen masih dengan nada was-was.
“Alah, nggak perlu pikir-pikir lagi. Besok kita ke showroom BMW. Aku kenal bos showroom itu,” Pak Randi kekeh, senyumnya semakin lebar.
BMW, Bos? Mahal itu. Mana aku mampu,” jawab Hansen, matanya membulat, sedikit terkejut.
“Alah, kita lihat-lihat aja dulu. Aku rasa mobil itu cocok buat kamu, Jo,” kata Bosnya, seakan sudah pasti Hansen akan menyetujuinya, suaranya terdengar lembut dan sedikit mendesak.
Gila! BMW! Batin Hansen mulai kalut. Baru kerja, sudah diajak ke showroom mobil mewah. Kalau sampai ia direkomendasikan untuk membeli BMW, bisa-bisa ia akan menjadi bahan gunjingan di kampung halamannya.
“Jo, kamu parkir motor kamu di mana?”
“Di basement, Bos.”
“Ooh, oke. Kamu tinggalkan aja motor kamu di sana. Kamu ikut aku pulang naik mobilku ya,” titah Pak Randi, nada suaranya terdengar berwibawa dan sedikit dominan.
“Kita mau berangkat sekarang, Bos?” tanya Hansen, sedikit ragu-ragu.
“Aah lah. Ayo lah, nanti macet, jadi telat pula. Lagi pula rumahku di Sunter itu, hahaha,” jawabnya, tawanya terdengar sedikit meremehkan.
Hansen melihat jam tangannya. Pukul 6 sore. Lama juga ia mengobrol dengan Pak Randi. Rasanya hampir satu jam.
Perjalanan menaiki Mercedes E-Class dari kantor Hansen menuju rumah Pak Randi memakan waktu sekitar 40 menit karena jalanan agak macet di sore Jumat itu.
Ini adalah pertama kalinya Hansen sampai ke Sunter. Rumah Pak Randi terletak di kawasan perumahan elite yang dijaga ketat dan dilengkapi gerbang.
“Fuh, mewah juga tempat tinggal Bos ya,” komentar Hansen kagum, matanya terbelalak menatap rumah-rumah megah di sekitarnya.
“Alah, biasa-biasa aja, Jo,” jawab Pak Randi sambil membelok masuk ke halaman sebuah rumah mewah yang dilengkapi kolam renang, senyumnya misterius.
“Besar sekali rumah Bos ini! Berapa orang yang tinggal di sini, Bos?” tanya Hansen, matanya tak lepas dari kemegahan rumah tersebut, matanya berbinar-binar.
“Aku dan istriku saja, Jo.”
“Bos tinggal berdua saja? Gila, besar sekali ini,” Hansen bergumam kagum saat melihat rumah tiga lantai milik Pak Randi. Berapa ya kira-kira gaji Bosnya ini? Kalau gajinya di bawah seratus juta, mustahil bisa tinggal di rumah semewah ini, pikirnya.
“Silakan masuk dulu, Jo. Nanti aku ajak kamu lihat-lihat rumah ya,” ajak Pak Randi dengan senyum yang terasa misterius dan menggoda, matanya menatap intens ke arah Hansen.
Hansen pun terpaku, hatinya berdebar kencang. Ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres, namun ia tak bisa menolak ajakan Bosnya itu. Rasa penasaran dan sedikit takut bercampur aduk di dalam dada.
Ia pun melangkah masuk, memasuki dunia baru yang penuh dengan misteri dan godaan yang belum diketahui, tubuhnya terasa bergetar karena antisipasi. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ada rasa tertarik yang kuat yang menguasai dirinya.
“Ayo masuk Jo, jangan malu-malu ya Jo, buat saja rumah ini seperti rumahmu sendiri,” ucap Pak Randi, bosku, sembari tersenyum ramah.
“Bagus sekali dekorasi rumahnya, Pak,” pujiku, mengagumi keindahan interior rumah mewah bosku yang terasa begitu lembut dan menenangkan.
“Terima kasih, Jo. Dekorasi ini ide istriku. Silakan duduk dulu ya, Jo. Aku mau ganti baju sebentar,” kata Pak Randi, mempersilakan aku duduk di sofa empuk di ruang tamu.
Pak Randi kemudian menuju ke arah lift, meninggalkanku duduk sendirian. Sambil menunggu, aku pun asyik memainkan game di ponsel android murahku.
Waktu terasa berlalu begitu lambat. Aku mulai merasa tidak nyaman. Sudah hampir satu jam aku menunggu sendirian. Apakah Pak Randi tertidur? Atau… apa yang sedang dia lakukan di atas? Jangan-jangan dia sedang… merias diri menjadi wanita? Aduhai, kalau sampai begitu, bisa-bisa aku mati kutu!
Tiba-tiba, bunyi ting! dari lift memecah keheningan.
Degup jantungku berdebar kencang. Seolah membaca pikiranku, Pak Randi muncul bersama seorang wanita cantik yang membuatku tertegun seketika.
“Maaf, Jo, karena meninggalkanmu sendirian. Eh, Jo, ini istriku, Melina.”
Aku langsung berdiri saat istri bosku mengulurkan tangan untuk bersalaman.
“Panggil aku Amel saja,” ujarnya dengan suara lembut, tangannya terasa halus saat bersentuhan dengan tanganku.
Amel… sungguh cantik. Kulitnya putih mulus, rambut hitamnya dihiasi dengan sentuhan warna merah yang mempesona. Wajahnya terlihat tegas, namun senyumnya mampu meluluhkan hati.
Lesung pipinya menambah daya tarik wajahnya yang ayu, namun tetap terpancar aura kuat dan tegas. Ah, memang benar, istri para bos biasanya begitu. Tegas, anggun, dan tak mudah ditaklukkan.
Beda banget sama cewek-cewek TikTok zaman sekarang yang suka banget pamer dan sok kaya, padahal nggak ada usaha sendiri.
Tubuhnya tinggi semampai, sekitar 167 cm. Pinggulnya membulat sempurna, pantatnya indah dan montok. Dadanya… cukup berisi, kurasa sekitar 36C. Ah, aku hanya menebak saja sih.
Setelah makan malam, aku diajak Pak Randi dan Amel untuk bersantai di tepi kolam renang sambil berbincang dan menghisap rokok.
Aku memperhatikan Amel, ternyata dia perokok berat. Rokok demi rokok dihisapnya silih berganti.
Amel bekerja sebagai manajer proyek di sebuah perusahaan teknik mekanikal dan elektrikal.
Selama berbincang, aku merasakan tatapan Amel yang intens. Rasanya seperti ada magnet yang menarikku padanya. Dia cantik, dan… aku mulai merasa gelisah.
“Aduh, jangan-jangan aku jatuh cinta nih sama Amel,” gumamku dalam hati. “Jangan kasih harapan, Amel. Aku ini orang kampung yang sederhana, mana mungkin bisa mendapatkan wanita secantik dan seanggun kamu.”
“Jo, mau nonton film nggak?” tanya Amel, suaranya terdengar menggoda.
Tiba-tiba, tanganku terasa hangat. Amel memegang pahanya, tepat di bagian atas. Pak Randi melihatnya, namun dia hanya tersenyum santai.
“Kalau aku yang diposisinya Pak Randi, pasti sudah…,” batinku. Amel cantik, seksi, dan menggoda. Namun, aku perhatikan, payudaranya terlihat agak kendur. Untungnya, dia pakai baju yang cukup tebal, sehingga putingnya tidak terlihat.
“Ayo,” ajak Amel, lalu menggenggam tanganku di depan Pak Randi. Astaga, aku jadi takut kena marah Pak Randi.
Saat kami hendak masuk ke dalam, ponsel Pak Randi berdering.
“Eh, kalian lanjut saja dulu. Aku mau jawab telepon dulu,” ujar Pak Randi.
“Yuk, Jo, kita ke ruang keluarga, nonton TV,” ajak Amel.
“Sayang?” Apakah aku salah dengar? Dia memanggilku sayang di depan Pak Randi? Aku melirik Pak Randi, dia hanya mengedipkan mata dengan senyum jahil.
“Wah, ini kesempatan emas,” batinku.
Setelah naik lift, kami menuju ruang keluarga. Amel masih menggenggam tanganku.
“Mau nonton film apa, Jo?” tanya Amel.
“Terserah, Amel. Aku suka apa saja,” jawabku. Ya, dia benar-benar memanggilku sayang! Dan, dia duduk di sampingku, menempel tubuhnya ke tubuhku, seolah-olah tidak ada tempat lain untuk duduk.
******
TV sudah terpasang, DVD player siap siaga. Tiba-tiba muncul peringatan dari FBI! “Apa lagi sih,” gumamku dalam hati. Aku menoleh ke arah Amel, “Pasti kamu yang bikin cerita aneh ini, Amel.”
Amel hanya menyeringai, senyumnya manis sekali di malam itu. Lesung pipitnya begitu menawan, membuatku tak bisa tenang. Wajahnya, sungguh memikat.
Dengan santainya, Amel memeluk lenganku, kepalanya ia sandarkan di bahuku. Sesekali tubuhnya bergoyang pelan. Aku bisa merasakan kekenyalan payudaranya, lembut dan menggoda. Tentu saja, malam itu ia tak mengenakan bra.
Seperti biasa, sebelum film dimulai, ada beberapa cuplikan adegan dewasa yang cukup vulgar.
“Kamu yakin mau nonton film kayak gini, Amel?” tanyaku, sedikit khawatir.
“Tenang saja. Suamiku tipe orang yang open minded,” jawab Amel.
Caranya menatapku saat berbicara membuatku semakin was-was. Rasa percaya dirinya begitu tinggi.
Kemudian, ia mencium pipiku. Aku terkejut, rasa khawatirku semakin menjadi.
“Cium aku, sayang,” pinta Amel.
Aku menatapnya, gugup dan gemetar. Belum pernah aku digoda seintens ini oleh seorang gadis, apalagi istri orang lain.
Rasanya seperti tertekan. “Kalau aku nggak nurut, jangan-jangan dapat surat peringatan pemecatan,” batinku.
Amel menggenggam leherku, menarik wajahku mendekat untuk mencium bibirku.
Dia yang memulai. Pertama kalinya ini terjadi. Biasanya, aku yang selalu berusaha mencium bibir perempuan. Kali ini, segalanya terbalik.
Lama bibir kami bertaut, aroma rokok masih tercium samar. Tapi karena aku sendiri juga perokok, jadi tidak terlalu mengganggu. Aku melepaskan bibirku, Amel ikut serta. Kami sama-sama saling ulurkan lidah, sensasi yang luar biasa.
Tanganku meraba-raba punggung Amel. Rasanya, batangku sudah tegang dan keras, hampir terasa seperti mau patah karena terjepit di dalam celana.
“Em… em!” Suara batuk Pak Randi, bosku, tiba-tiba terdengar.
Aku panik, jantungku berdebar kencang. Wajahku terasa pucat pasi.
“Eh, Bos, maaf Bos,” kataku meminta maaf atas kecerobohanku berciuman dengan istri bosku.
“Tidak apa-apa, Jo. Temani Amel malam ini, ya,” kata Pak Randi.
“Kamu mau keluar, say?” tanya Amel kepada Pak Randi, melihat bosku sudah berganti pakaian seperti hendak pergi ke clubbing.
“Clubbing,” jawab Pak Randi singkat.
“Oh, oke. Kamu pulang malam ini nggak?” tanya Amel lagi.
“Lihat gimana nanti,” sahut Pak Randi.
“Oke, enjoy. Jaga diri, ya,” kata Amel.
Pak Randi menyalami tanganku.
“Jo, jagain Amel sayangku malam ini ya. Lakukan apa pun yang dia mau,” bisik Pak Randi di telingaku.
Aku hanya tersenyum, tak tahu harus berkata apa. Ini pengalaman yang baru bagiku. Aku mengerti maksudnya, tapi tidak tahu seberapa jauh aku harus menemani istrinya malam itu.
Amel menyalami dan mencium tangan Pak Randi. Pak Randi menatapku dan mengedipkan matanya. Mantap, Bosku!
Bosku telah memberi lampu hijau untukku menyentuh istrinya malam itu. Aku mengira hal ini hanya terjadi di film Hollywood, ternyata benar-benar terjadi padaku.
Mungkin bosku ini impoten atau apalah ya, sehingga ia membawaku pulang untuk menjadi santapan istrinya. Beruntungnya aku. Istrinya cantik pula.
Senyum lebar mengembang di wajahku, tak menyangka bahwa malam ini akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Aku menatap Pak Randi, rasa terima kasih yang tak terucapkan membanjiri hatiku. Sungguh, aku tak pernah membayangkan akan terlibat dalam petualangan erotis seperti ini, terlebih lagi dengan istri bosku sendiri.
Amel, sang istri cantik dan menggoda, tersenyum penuh arti kepadaku. Matanya yang tajam dan bibirnya yang merah merona seolah mengundangku untuk melakukan hal-hal terlarang. Rasanya seperti aku seorang pahlawan dalam kisah fantasi, yang ditugaskan untuk menyelamatkan sang putri dari naga yang jahat.
“Jangan khawatir, sayangku,” bisik Amel, tangannya menyentuh pipiku dengan lembut. “Suamiku memang pria yang luar biasa. Dia tahu aku butuh hiburan malam ini, dan dia ingin aku bahagia.”
Kegugupanku tak bisa kusembunyikan. Rasanya seperti seorang anak kecil yang baru saja diberi hadiah istimewa. “Tapi, Amel… aku… aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”
Amel tertawa kecil, suaranya seperti lonceng yang merdu. “Tenang saja, sayang. Aku akan memandu kamu. Malam ini, biarkan aku menjadi panduanmu menuju kenikmatan yang belum pernah kamu rasakan.”
Aku menelan ludah, mencoba untuk mengendalikan detak jantungku yang semakin cepat. Tak pernah terlintas dalam pikiranku bahwa aku akan terlibat dalam permainan erotis seperti ini. Amel, dengan tubuhnya yang tinggi dan lekuk tubuhnya yang sempurna, selalu menjadi sosok yang hadir dalam fantasi terliarku.
“Ayo, ikut sini,” kata Amel, menarik tanganku menuju ruang tidur utama.
Aku mengikutinya, jantungku berdebar kencang. Kami memasuki kamar yang didekorasi dengan mewah dan elegan. Tempat tidur berukuran besar dengan seprai sutra berwarna merah menyala, menciptakan atmosfer yang sensual. Aroma mawar dan vanila memenuhi ruangan, menambah kesan romantis yang menggoda.
Amel menyalakan beberapa lilin aromaterapi, mengisi ruangan dengan aroma wangi yang menenangkan. Cahaya lilin yang berkelap-kelip menciptakan bayangan lembut di dinding, memberikan kesan misterius dan sensual.
Suasana ruangan yang sunyi hanya diiringi oleh musik klasik yang mengalun lembut, menciptakan suasana yang sempurna untuk malam penuh gairah ini.
Amel berjalan mendekat, tangannya meraba tubuhku dengan lembut. Sentuhannya terasa seperti aliran listrik yang mengalir melalui tubuhku, membuat bulu kudukku berdiri. Jari-jarinya yang lentik menjelajahi dadaku, lalu turun perlahan ke perutku, membelai setiap lekuk tubuhku dengan penuh kelembutan.
“Oh, sayang, kamu membuatku begitu bergairah,” desah Amel, bibirnya menyentuh telingaku. Suaranya yang lembut dan napasnya yang hangat membuatku merinding. “Aku ingin merasakan setiap inci tubuhmu.”
Gelombang kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya menyapu tubuhku. Tubuhku merespon sentuhan Amel dengan penuh gairah. Batangku terasa semakin tegang dan keras, menuntut perhatian.
Amel merunduk, mulutnya menyentuh putingku. Ia menjilati dan menghisapnya dengan lembut, membuatku menggelinjang dan mendesah. Tangannya yang lincah melepaskan kancing-kancing bajuku, satu per satu, hingga akhirnya tubuhku terpapar sepenuhnya di hadapannya.
“Oh, Amel… jangan berhenti,” rintihku, tanganku meremas rambut Amel. Nafasku mulai memburu, keringat dingin membasahi tubuhku. Amel tersenyum menggoda, matanya memancarkan gairah yang tak tertahankan.
Amel tertawa kecil, ia menggigit lembut kulitku, meninggalkan jejak merah muda di sana. Ia terus menjelajahi tubuhku, membawaku ke puncak kenikmatan yang tak pernah kuimpikan sebelumnya. Setiap sentuhannya terasa seperti sihir, membakar seluruh tubuhku dengan gairah yang membara.
“Kamu siap, sayang?” tanyanya, matanya penuh dengan keinginan.
Aku mengangguk, tak mampu berkata-kata. Hanya nafsu yang membara yang kurasakan di dalam diriku.
Amel perlahan melepaskan pakaianku, membiarkan tubuhku telanjang sepenuhnya. Ia meraba batangku yang tegang, menggosoknya dengan lembut.
“Oh, sayang, kamu begitu besar dan keras,” desah Amel, matanya penuh kekaguman. “Aku ingin merasakan kamu di dalamku.”
Aku tak bisa menahan diri lagi. Aku menarik Amel, menciumnya dengan penuh nafsu. Lidah kami saling bertaut, menjelajahi mulut masing-masing dengan liar.
Aku mendorong Amel ke tempat tidur, tubuhnya yang telanjang sempurna kini berada di atasku. Aku meremas payudaranya, merasakan putingnya yang keras di antara jariku.
“Oh, sayang, kamu membuatku gila,” desahku, tanganku meraba tubuh Amel dengan penuh hasrat.
Amel menggelinjang, mendesah dengan suara yang membuatku semakin bergairah. Aku merasakan tubuhnya yang basah dan hangat menyentuh batangku, menggosoknya dengan lembut.
“Masukkan, sayang,” pintanya, matanya penuh dengan keinginan.
Aku tak perlu diminta dua kali. Aku mendorong tubuh Amel, memasuki tubuhnya dengan lembut. Sensasi yang luar biasa melanda kami saat batangku menyentuh dinding hangat tubuhnya.
Amel mengerang, tubuhnya melengkung ke belakang, menikmati setiap inci batangku yang mengisi dirinya. Aku bergerak perlahan, merasakan kenikmatan yang tak terbendung.
“Lebih cepat, sayang,” pintanya, tangannya meremas pantatku.
Aku menaikkan ritme gerakanku, mendorong tubuh Amel dengan lebih dalam. Amel mengerang, tubuhnya bergoyang mengikuti irama gerakanku.
“Oh, sayang, kamu luar biasa,” desahnya, tangannya meremas payudaranya sendiri.
Kenikmatan yang tak terbayangkan kurasakan. Tubuh Amel yang hangat dan basah mengelilingi batangku, membuat setiap sentuhan terasa seperti surga.
“Aku… aku hampir…” rintihku, tak mampu menahan kenikmatan yang memuncak.
“Ya, sayang, keluarkan di dalamku,” pintanya, suaranya berdesir lembut di telingaku. Tubuhnya mengejang, seakan-akan disambar petir.
Aku mengerang, tubuhku bereaksi mengikuti ritme tubuhnya. Gelombang kenikmatan yang dahsyat membanjiriku, tak terbendung lagi. Rasanya seperti seluruh tubuhku terbakar, terbakar oleh api hasrat yang dinyalakan Amel. Setiap sentakan, setiap desahan, menjadi simfoni erotis yang menyihirku.
Aku merasakan tubuhku menegang, siap melepaskan puncak kenikmatan. Amel, dengan mata terpejam dan wajah memerah, terus mendesakku untuk melepaskan semuanya di dalam dirinya. Aku merasakan kehangatan cairan tubuhku mengalir memenuhi rahimnya, sebuah tanda bahwa kami telah mencapai puncak kenikmatan yang luar biasa bersama.
Kami terbaring, tubuh kami masih terjalin erat, menikmati sisa-sisa kenikmatan yang masih berputar di kepala. Tubuh Amel yang lentur, kulitnya yang halus, terasa begitu dekat, begitu nyata. Sensasi sentuhannya masih terasa begitu hidup, membakar seluruh tubuhku.
“Kamu luar biasa, sayang,” bisiknya, suaranya lembut seperti beludru. Tangannya yang lentik meraba tubuhku dengan penuh kasih sayang, seolah-olah ingin memastikan bahwa aku adalah pria yang benar-benar dia inginkan.
Aku tersenyum, merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Seakan-akan aku adalah pria paling beruntung di dunia ini, bisa merasakan sentuhan tubuh Amel yang memikat, yang biasanya hanya bisa kulihat dari kejauhan.
Malam itu, aku mengalami petualangan erotis yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Mimpi-mimpi liar yang selama ini hanya kusimpan dalam bayangan, kini menjadi kenyataan. Amel, istri bosku yang cantik dan menggoda, telah membuka pintu surga erotis bagiku.
“Kita belum selesai, sayang,” desahnya, matanya berbinar dengan keinginan yang tak terbendung. “Malam ini baru permulaan.”
Aku tersenyum nakal, jantungku berdebar kencang. Aku tahu, malam itu baru saja dimulai. Petualangan erotis kami masih panjang, penuh dengan kejutan dan sensasi yang tak terduga. Aku tak sabar untuk menyelami lebih dalam lagi ke dalam hasrat Amel, untuk merasakan lagi sensasi tubuhnya yang hangat dan lembut.
Tubuhnya yang masih bergetar di sampingku menggoda. Aku mencium lehernya, merasakan kulitnya yang halus dan hangat. Bibirku mengembara ke bawah, meninggalkan jejak ciuman di sepanjang tulang selangkanya. Tanganku menjelajahi tubuhnya dengan penuh hasrat, membelai lekuk tubuhnya yang memukau.
Amel mendesah, tubuhnya bereaksi terhadap sentuhanku. Tanganku masuk ke dalam pakaiannya, mengelus permukaan kulitnya yang halus. Aku merasakan denyut nadi di dadanya, berdebar kencang, seirama dengan debaran jantungku.
“Oh, sayang,” desahnya, suaranya terengah-engah. “Sentuh aku lagi.”
Aku menuruti permintaannya, tangan ku menjelajahi tubuhnya dengan penuh antusiasme. Bibirku kembali mencium kulitnya, meninggalkan jejak-jejak panas di tubuhnya yang memikat. Tubuhku semakin terbakar, hasratku semakin membuncah.
Amel membalas ciuman dan sentuhanku dengan antusias. Tubuhnya melengkung, memenuhi hasratku. Kami saling berciuman dengan penuh gairah, lidah kami saling bertautan, seakan-akan ingin mengungkap semua hasrat yang terpendam.
“Kau begitu hebat,” desahnya, suaranya sedikit serak. “Aku begitu menginginkanmu.”
Aku merasakan tubuh Amel menegang, bersiap untuk menyambutku lagi. Aku ingin merasakan sensasi tubuhnya yang hangat, merasakan kenikmatan yang luar biasa yang baru saja kami rasakan.
“Sayang,” desisku, “aku ingin merasakanmu lagi.”
Matanya menatapku, penuh gairah dan hasrat. “Ya, sayang,” jawabnya, tubuhnya bergetar. “Isi aku lagi.”
Aku memenuhi keinginannya, mengisi tubuhnya dengan cinta dan gairahku. Kami larut dalam kenikmatan yang luar biasa, menjelajahi batas-batas hasrat kami. Tubuh kami bergerak seirama, saling melengkapi, menciptakan harmoni erotis yang tak terlupakan.
Malam itu, Amel dan aku, terikat dalam ikatan hasrat yang tak terpisahkan. Malam itu, kami menjelajahi surga erotis yang tercipta dari perpaduan hasrat dan cinta terlarang.
Malam itu, aku merasakan kenikmatan yang tak tertandingi, bersama wanita yang selama ini hanya menjadi bayangan dalam pikiranku. Dan aku tahu, petualangan erotis kami baru saja dimulai.




0 komentar: